Senin, 13 Desember 2010

Kamis, 06 Mei 2010

KENANGAN YANG TAK TERLUPAKAN DI DESA TADA

“Ella..Ella,,bangun..!”, terdengar suara yang sepertinya sedikit asing bagiku namun dapat kupastikan dia bukan orang asing. Ruangan 3x3 meter, lampu temaram, kasur tanpa ranjang, sedikit pengap dan seorang teman perempuan di sampingku, adalah hal pertama yang kulihat saat membuka mata. Jam menunjukkan pukul 20.30 WITA dan ini adalah hari pertama aku berada di sini, sebuah desa yang akan kutinggali selama dua bulan lamanya. Aku baru sadar, suara asing itu adalah suara Ibu Kades, “Aku pasti kelelahan,,,” pikirku, setelah menempuh perjalanan 4 jam dari kota Palu dan menghadiri prosesi penerimaan Mahasiswa KKN Untad di kantor kecamatan. Aku langsung tertidur pulas, sesaat setelah bapak dan ibu Kades menawari kami sebuah kamar. “Iya bu,,!” jawabku singkat sambil bergegas mengganti pakaian. Dosen pembimbing sudah menunggu di ruang tamu untuk memberikan sedikit pengarahan kepadaku dan ketiga orang temanku. Mungkin malam ini merupakan “pedekate” pertama dengan bapak kades dan keluarganya, ungkapku dalam hati.
***
Suasana riuh, tawa bercampur sedikit lelah memenuhi ruangan. Sedikit ketegangan terlihat di raut wajah para mahasiswa yang tak sabar menanti saat pemberangkatan. Hari ke-4 pembekalan KKN atau tiga hari sebelum saat itu tiba. “Anak-anak, mohon perhatiannya!” seru ibu Intam, salah satu dosen P2WKKN yang bertugas memberi pembekalan pada hari ini. “Saat tiba di lokasi nanti, semua kebiasaan buruk harus ditinggalkan, sifat manja jangan dibawa-bawa, semua akan serba berbeda !”. Konsentrasi pun kembali fokus pada beliau. “Untuk yang cewek, sebisa mungkin bangun lebih pagi dari yang punya rumah, memasak air atau langsung bersih-bersih dan buat yang cowok, jangan sampai malas-malasan atau ugal-ugalan, usahakan kerjakan sesuatu yang bisa membantu tuan rumah atau warga sekitar !” seru ibu Intam memberi arahan kepada kami.
***
Aku membuka mata, termenung sejenak, “astaga, sudah jam 7 pagi !” seruku sambil memandang jam di handphone ku. Terdengar suara-suara baru, aktifitas orang terdengar mulai sibuk dan aku kelimpungan. “Fany, Fany.. bangun, hey,,kita kesiangan!”, sambil sedikit mendorong badannya, aku membangunkan Fany, teman se-poskoku. Dengan gaya malas-malasan, dia membuka matanya “memangnya ini jam berapa?”, “sekarang jam 7 pagi dan kita kesiangan, keluar duluan gih!” seruku karena sedikit segan untuk keluar kamar di saat orang-orang sudah mulai beraktifitas. Hehehe, aku sengaja menyuruhnya duluan, karena sejak pertama ketemu aku sudah bisa membaca sifat cueknya. “Peraturan pertama telah dilanggar, jam segini mah air udah mendidih dari tadi…” kataku dalam hati. Segera aku menyusul Fany seakan tak ada beban, aku menyapa Ibu Kades, kulihat Fany berada di dapur sedang membersihkan piring kotor. Segera ku raih sapu ijuk dan mulai manyapu lantai yang ternyata sudah di bersihkan oleh anak bu kades. “Parah,,!” seakan mengutuk diriku dalam hati..
Aku dan Fany ditempatkan di rumah pak kades. Sedangkan dua teman kami Randi dan Iwan tinggal di rumah saudara sepupu Pak Kades yang berada tepat di depan tempat tinggalku. Aku bergegas ke rumah depan, yang sekaligus merupakan posko KKN kami. Kegiatan pertama dimulai dengan merundingkan kebutuhan pangan dan lain-lain. Kami pun segera mengumpulkan uang sebagai “modal awal”. Setelah itu, akupun mulai bergegas ke warung untuk membeli bahan makanan, sudah kesiangan untuk menunggu penjual sayur yang lewat. Tante Mi dan Tua’ (sebutan untuk “nenek”) adalah orang-orang yang terus menemani hari-hari kami selama di posko. Baik hati dan penyayang, itulah kata yang tepat untuk mereka.
***
Hari jumat, pembekalan terakhir atau 2 hari sebelum hari itu tiba. “Pada saat di lokasi, kalian harus senantiasa kompak”, ucap abah Hasan selaku pemateri di hari terakhir pembekalan. Hindari perselisihan karena hanya akan membuat program kerja tidak berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun tak bisa dipungkiri, salah paham antara teman se posko tidak dapat sepenuhnya dihindari. Karakter pribadi yang berbeda dan baru saling mengenal sangat rentan dengan selisih paham. Itulah ujian utama bagi kita, sebagai mahluk sosial dan kita dituntut harus bisa belajar menyelesaikan masalah yang ada.. Mungkin kalimat-kalimat tersebut cukup menggambarkan bagaimana abah Hasan memberi materi “pembelajaran pribadi” sebagai bekal kami berada di lokasi KKN.
Pembekalan sudah hampir selesai. Saatnya pembagian lokasi KKN. Beberapa desa sudah mulai disebutkan. Ada yang bahagia karena berdekatan lokasi atau bahkan mendapat lokasi yang sama dengan teman se-jurusan. Ada yang nampak bingung mencari-cari nama yang disebutkan dalam satu kelompok karena tak satupun yang saling mengenal. Aku merupakan salah satu yang kebingungan dan di saat itulah aku bertemu dengan tiga temanku, Randi, Iwan dan Fany yang ditempatkan di desa Tada.
***
Semakin lama kami semakin disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang menjadi program kerja. Mulai dari rapat desa, penyusunan program kerja, pelaksanaan kegiatan dan yang tak kalah menyita waktu adalah sosialisasi dengan warga-warga desa beserta aparatur desa yang tersebar di beberapa dusun. Hari-hari yang kami lalui jelas memperbanyak interaksi diantara kami. Sedikit demi sedikit watak asli masing-masing mulai terlihat. Semakin banyak hal-hal yang menyebabkan selisih paham. Randi si keras kepala dan sedikit malas, Fany si cuek, Iwan si egois dan perhitungan, serta aku sendiri, si tempramen alias mempunyai emosi yang sangat labil.
Minggu kedua serta minggu berikutnya merupakan minggu yang memuakkan bagiku. Betapa tidak, selain teman-teman seposko, ternyata karakter warganya juga berbeda-beda. Ada yang “welcome” ada juga yang sok baik tapi menusuk dari belakang. “Dasar anak kota, semuanya manja. Apalagi yang perempuan, tdak tahu kerja apa-apa !” kata-kata itu sangat menyakitiku, meskipun aku tak mendengar langsung dari orangnya. Aku mulai tertekan, hidupku mulai tegang dan tak nyaman. “Arrrrgh,,,KKN sialan !”
Desa “Tada” merupakan salah satu desa yang belum mendapat program air bersih. Itulah sebabnya, kami sedikit risih soal air minum, makanan maupun mandi. Bedanya, teman-temanku yang lain masih bisa sedikit menyesuaikan diri sedangkan aku sedikit susah diajak kompromi. Mungkin karena itulah aku dinilai sedikit berbeda. “aku tak mungkin mau minum air minun dari sumur, sekalipun sudah dididihkan 10 kali” ucapku suatu ketika. “hey, kalau mau masak sayur jangan dicuci pakai air sumur, mending pakai air minum saja” ucapku pada Fany. Sangat beralasan, sumur itu tak tertutup sedikit pun, debu dan air hujan serta “yang dari sononya” memang tidak bersih menjadi alasan bagiku.
Hal itu tidak seberapa, dan aku pun mencoba mengerti. Namun perselisihanku dengan teman-temanku membuatku semakin tertekan. Aku yang tak bisa mengontrol emosiku, membuatku semakin terpuruk. “Sudahlah, santai saja dengan hal begini, bagaimanapun kita tidak selamanya disini !” Fany menyemangatiku. Meskipun begitu, motivasinya tidak bertahan lama. Ternyata masih ada hal lain yang lebih memuakkan. Tuan rumah yang sudah ikut-ikutan bercerita miring tentang kami, salah satu temanku yang keras kepala dan kembali pada kebiasaan mabuk-mabuknya, dan yang lebih parah lagi “banyak banci di siniiii…!” ditambah dengan banyaknya anak muda yang sering mabuk-mabukan, kampung macam apa ini???
Apabila KKN merupakan ujian mental yang harus diberi nilai, sudah bisa kupastikan bahwa aku tidak akan lulus. Sifatku yang tidak “open mind” dengan lingkunganku membuatku tidak nyaman. “Sumpah, aku alergi dengan banci !” ucapku menggerutu. Tak jarang aku mendengar orang-orang yang sering menanyakanku, karena aku lebih sering berada di rumah di banding ikut nongkrong bersama mereka.Namun apapun itu, aku tidak akan membiarkan semuanya sia-sia. Aku terus menjalani hari-hariku dan membuat diriku nyaman dengan semuanya.
Sudah lebih sebulan, kami tinggal di desa ini. Tak lama lagi bulan Ramadhan akan tiba. Aku rindu rumahku, masakan ibuku dan keluargaku. Aku pulang melepas rindu meskipun hanya seminggu, hingga aku harus kembali lagi ke lokasi. Ramadhan kali ini betul-betul berbeda. Sedikit demi sedikit aku mulai merasakan kehangatan di lingkunganku saat ini. Makan sahur dan buka puasa bersama teman-teman beserta Tua’ dan Tante Mi, memberi makna lain bagiku. Mereka berusaha untuk menyenangkan kami dengan segala keterbatasan mereka. Kue ala kadarnya, makanan sahur seadanya, membuatku lebih memahami arti hidup ini. Aku terharu. Orang-orang yang sempat “mencemooh” seakan terlupakan dengan kehangatan Ramadahan. Semuanya saling berbagi.
Bagaimana dengan para banci-banci itu? “hmm,,ternyata mereka pintar masak juga” ucapku sambil tersenyum. “hm, baguslah, masih ada gunanya, hehehe!”. Begitu seterusnya hingga dua bulan hampir berakhir. Semakin dekat waktu penarikan, masyarakat terlihat semakin tidak rela dengan kepergian kami. “Aaah, akhirnya penderitaanku akan berakhir !” aku selalu menghitung hari menanti waktu penarikan kami. Setelah seminar hasil di kecamatan, ternyata masyarakat menyiapkan acara perpisahan untuk kami. Para pemuda bahkan para orang-orang tua saling membantu untuk menyiapkan acara ini. Berbagai macam hasil kebun disiapkan. Hingga saat puncak acara, kami diminta untuk menyampaikan pesan dan kesan selama tinggal di desa itu. Ketiga teman-temanku sudah menyampaikan pesan dan kesan mereka.
Tiba giliranku, entah mengapa tiba-tiba aku tak bisa berkata-kata. Semua terdiam, aku menoleh ke arah Tante Mi, namun dia bergegas masuk ke dalam rumah sambil mengusap air matanya. Sejenak aku terpaku, air mataku mengalir, suasana tiba-tiba berubah, tubuhku terasa dingin. “Terima kasih buat Bapak dan Ibu Kades yang sudah bersedia memberi tempat tinggal dan menjadi orang tua kami selama berada disini,,” ku usap air mataku dengan selendang yang ku kenakan di atas kepalaku. “Mohon maaf, jika selama ini ada sesuatu yang kurang berkenan terutama hal-hal yang mungkin tidak bisa kami lakukan, buat Tante Mi dan Tua’ yang telah menjaga kami, memasak makanan favorit kami……..”, cukup panjang kata-kata yang aku ucapkan, semuanya berisi rasa terima kasih dan permohonan maaf kepada orang-orang yang telah membantu selama masa KKN di desa Tada.
Suasana meriah kembali berlanjut, para pemuda-pemudi berpesta semalam suntuk. Namun aku merasa tak bersemangat, teringat kembali wajah-wajah mereka, masa-masa sulit yang aku hadapi, kenangan di bulan ramadhan dan hal-hal lain yang takkan terulang lagi. Tanpa sengaja aku melihat “dia” orang yang sempat membuatku kecewa karena menceritakan sesuatu yang tidak berkenan di hati kami, Ibu Kades, sambil terduduk ia menangis. Aku mendekatinya, mencoba mengutarakan permohonan maaf kepadanya. Raut mukanya semakin sedih, dia hanya terdiam. Perasaanku semakin tak menentu.
Malam semakin larut, perlahan-lahan ektifitas mulai berhenti. Aku tertidur, bukan di kamarku tetapi dibawah kelambu usang milik Tua’ dan Tante mi, mereka memintaku dan Fany untuk tidur bersama mereka. Sempat aku tiba-tiba terjaga, aku kembali meneteskan air mata, melihat Tante Mi yang tidur persis di dekat kakiku. “Ya Allah, aku terlalu lelah hingga duluan tertidur dan tidak menyisakan tempat yang cukup untuknya”.
Tak begitu lama waktu tidurku hingga matahari mulai muncul. Aku segera mempersiapkan diri dan berkemas.
Di luar rumah, orang-orang tua sudah berkumpul. Rupanya mereka juga ikut melepaskan kepergian kami. Seseorang memberitahuku, para pemuda-pemudi sengaja tidak datang. Mungkn mereka terlalu gengsi untuk menangisi kepergian kami. Rupanya benar, satu per satu handphone kami berbunyi, pesan singkat berisi ucapan selamat jalan memenuhi kotak masuk. Kami berfoto-foto, aku memeluk Tante Mi, Tua dan Ibu Kades untuk terakhir kalinya. Satu per satu kami naik ke atas bis sambil melambaikan tangan, sekali lagi aku meneteskan air mata. Selamat tinggal Tua, Tante Mi, Ibu. Selamat tinggal semuanya, selamat Tinggal Tada.
Aku sedih bercampur bahagia. Dua bulan yang sulit berakhir sudah. Tak sabar untuk segera sampai ke rumah, bertemu mama dan keluarga, makan masakan favorit dan tidur di kamarku tercinta. Aku berbagi cerita pada mama dan papa serta merenungi pengalamanku disana. Masa-masa yang paling berkesan namun takkan penah terulang. “Terima kasih Ya Allah, Kau telah memberikanku kesempatan untuk mengetahui arti kehidupan di luar yang telah kurasakan selama ini, belajar menghadapi masalah dan hidup berbaur dengan orang lain dengan berbagai suka maupun duka”, aku berdoa dalam hati. Sambil memandangi foto-foto kami. Kenangan yang tak terlupakan. Miss u all…!!!

LAILA RAHMA SIAMI B 501 06 008
HAERUL FIKRI B 501 06 074
DIKI SETIAWAN B 501 06 044
SITI HAJAR B 501 04 076
ERNI CHARLINA B 501 06 036
SYAHRUN B 501 06 038

Senin, 15 Maret 2010

Contoh kalimat Induktif dan Deduktif

1. Paragraf Deduktif adalah paragraf yang ide pokok atau kalimat utamanya terletak di awal paragraf dan selanjutnya di ikuti oleh kalimat kalimat penjelas untuk mendukung kalimat utama.
contoh paragraf deduktif :
-Berkembangnya industri telekomunikasi saat ini membuat para pengguna telepon selular semakin meningkat. Tarif yang relatif murah serta menjamurnya berbagai merek hp yang relatif terjangkau, membuat sebagian masyarakat semakin mudah dalam berkomunikasi menggunakan jaringan komunikasi selular.

2. Paragraf induktif adalah paragraf dimana ide pokok terlatak di akhir paragraf,dan kalimat penjelas berada pada bagian awal paragraf.
Contoh paragraf induktif:
- Para pelanggan jaringan telepon selular PT X mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh perusahaan tersebut. Buruknya jaringan telepon serta internet menjadi hal yang paling sering dikeluhkan oleh pelanggan. Keputusan untuk meningkatkan kapasitas BTS serta pembatasan penjualan modem internet dinilai efektif guna menghindari terjadinya over kuota serta menjaga loyalitas pelanggan.

Keamanan Berkendara di kota Palu

Keamanan berkendara merupakan hal yang sangat penting, terlebih lagi dengan melihat angka kecelakaan lalu lintas yang cenderung meningkat di kota Palu. Selain mensosialisasikan peraturan penggunaan helm standar pada setiap pengemudi, pemerintah juga harus memperhatikan kondisi ruas-ruas jalan yang tidak memenuhi standar keamanan terutama ruas jalan yang berlubang dan berpasir.

LAILA RAHMA SIAMI
B 501 06 008